Pesantren Ramadhan SMP dan SMA FH
Jumat - Sabtu, Tgl 28 - 29 Agustus 2009
Tempat : Sekolah SIT Fajar Hidayah
Jl. Boulevard Utama Kota Wisata Cibubur
Ceramah, Dialog & Sharing
Ust : Thamrin
Host : Afifa dan Doni Michael
Tema : Pacaran dalam Islam
Qiyamul Lail dan Muhasabah
Tausyiah Pagi
Ust : Ubaidillah
Training In House
Tim Trustco, Jakarta
Kreatifitas & Performance Siswa
Jumat, 28 Agustus 2009
Selasa, 25 Agustus 2009
Beasiswa
Beasiswa
Asyik, Beasiswa untuk SMA/MA Rp 150.000 Per Bulan!
Para pelajar Indonesia di Eropa membentuk LintangIndonesia untuk menggalang dana pendidikan beasiswa bagi siswa SMA/MA atau yang sederajat dan kurang mampu di tahun ajaran 2009/2010 ini.
Sampai detik ini, masih banyak anak Indonesia yang terhambat pendidikannya karena masalah biaya. Padahal, di sisi lain, pendidikan itu sendiri merupakan investasi besar bagi masa depan bangsa.
Berbekal kesadaran akan pentingnya pendidikan itulah, LintangIndonesia melakukan gerakan penggalangan dana yang disalurkan sebagai beasiswa pendidikan bagi para pelajar di Indonesia. Beasiswa tersebut diberikan selama 12 bulan, sejak Juli 2009–Juni 2010.
Diberikan kepada 25 siswa dengan besaran Rp 150.000 per bulan, aplikasi beasiswa ini dibuka sampai tanggal 31 Agustus 2009 mendatang. Hasil seleksinya baru akan diumumkan pada September 2009.
Menurut Widyawan, mahasiswa Indonesia di Irlandia, LintangIndonesia dibentuk atas keinginan para pelajar Indonesia di Irlandia untuk dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi tanah air Indonesia, khususnya di dunia pendidikan. Dana beasiswa itu dikumpulkan dari iuran bulanan anggota yang tersebar di beberapa negara di Eropa, seperti Irlandia, Jerman, serta Belanda, selain juga dari komunitas mahasiswa di Indonesia sendiri.
Sejak berdirinya pada November 2007, LintangIndonesia sudah menyalurkan beasiswa kepada 19 orang siswa sebesar Rp 27, 35 juta. Tahun ini, LintangIndonesia kembali menggulirkan program beasiswa tersebut bagi 25 pelajar Indonesia.
Bagi yang membutuhkan beasiswa ini bisa langsung mengunduh formulirnya di http://lintangindonesia.org/files/lintangformulir.pdf. Aplikasi dan dokumen pendukung bisa dikirim ke sekretariat LintangIndonesia di Kompleks Gedung Putih, Pondok Krapyak, Yogyakarta, melalui kode pos 55011.
Sumber : Klubguru.com
Asyik, Beasiswa untuk SMA/MA Rp 150.000 Per Bulan!
Para pelajar Indonesia di Eropa membentuk LintangIndonesia untuk menggalang dana pendidikan beasiswa bagi siswa SMA/MA atau yang sederajat dan kurang mampu di tahun ajaran 2009/2010 ini.
Sampai detik ini, masih banyak anak Indonesia yang terhambat pendidikannya karena masalah biaya. Padahal, di sisi lain, pendidikan itu sendiri merupakan investasi besar bagi masa depan bangsa.
Berbekal kesadaran akan pentingnya pendidikan itulah, LintangIndonesia melakukan gerakan penggalangan dana yang disalurkan sebagai beasiswa pendidikan bagi para pelajar di Indonesia. Beasiswa tersebut diberikan selama 12 bulan, sejak Juli 2009–Juni 2010.
Diberikan kepada 25 siswa dengan besaran Rp 150.000 per bulan, aplikasi beasiswa ini dibuka sampai tanggal 31 Agustus 2009 mendatang. Hasil seleksinya baru akan diumumkan pada September 2009.
Menurut Widyawan, mahasiswa Indonesia di Irlandia, LintangIndonesia dibentuk atas keinginan para pelajar Indonesia di Irlandia untuk dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi tanah air Indonesia, khususnya di dunia pendidikan. Dana beasiswa itu dikumpulkan dari iuran bulanan anggota yang tersebar di beberapa negara di Eropa, seperti Irlandia, Jerman, serta Belanda, selain juga dari komunitas mahasiswa di Indonesia sendiri.
Sejak berdirinya pada November 2007, LintangIndonesia sudah menyalurkan beasiswa kepada 19 orang siswa sebesar Rp 27, 35 juta. Tahun ini, LintangIndonesia kembali menggulirkan program beasiswa tersebut bagi 25 pelajar Indonesia.
Bagi yang membutuhkan beasiswa ini bisa langsung mengunduh formulirnya di http://lintangindonesia.org/files/lintangformulir.pdf. Aplikasi dan dokumen pendukung bisa dikirim ke sekretariat LintangIndonesia di Kompleks Gedung Putih, Pondok Krapyak, Yogyakarta, melalui kode pos 55011.
Sumber : Klubguru.com
Senin, 24 Agustus 2009
Selasa, 18 Agustus 2009
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang (I)
Pesatnya perkembangan teknologi dan industri di negeri matahari terbit, sudah tak bisa disangkal lagi. Berbagai negara berdatangan hendak mencontoh kesuksesan sistem pendidikan yang selama ini dikembangkan di negeri ini. Catatan performa para siswa Jepang terutama dalam bidang matematika dan ilmu alam selama dua dekade terakhir senantiasa menjadi tolok ukur kesuksesan itu.
Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan.
Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.
Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.
Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.
Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program “Super Science” untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.
Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.
Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati.
Christianus I Wayan Eka, MA, asisten pengajar pada Faculty of Policy Studies and Faculty of Information Sciences and Engineering, Nanzan University, Japan
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang (II)
Perkembangan dalam sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat 90 persen dari orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah atas.
Disinilah fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian masuk sekalipun, maka “Yutori Kyoiku” mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka alami.
Kemudian kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan semangat “Yutori Kyoiku”. Muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Ini berpengaruh pada jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari menjadi 5 hari.
“Yutori Kyouiku” juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui program yang dikenal sebagai program terpadu (sogotekina gakushu). Tujuan utama program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir kritis.
Nilai hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar.
Poin yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini akan membawa para siswa untuk memiliki “kemampuan baru” dan hal ini oleh kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi pendidikan ke depan.
Prinsip ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing mereka untuk berpikir serta berkreasi.
Apakah reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses.
Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Para pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi “Yutori Kyoiku” ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar.
Namun sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut.
Lalu bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20 persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya.
Akhir kata, sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab tantangan ini, berbagai upaya guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata serta metode “hands-on learning” menjadi tren yang baru di negeri ini.
Di balik semua itu apa hikmah yang bisa kita ambil buat sistem pendidikan di negara kita? Memang sistem pendidikan di negara kita mungkin tidak sekaku apa yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem pendidikan nasional Indonesia.
Christianus I Wayan Eka, MA, asisten pengajar pada Faculty of Policy Studies and Faculty of Information Sciences and Engineering, Nanzan University, Japan
(Sumber : www.Kompas.com)
Pesatnya perkembangan teknologi dan industri di negeri matahari terbit, sudah tak bisa disangkal lagi. Berbagai negara berdatangan hendak mencontoh kesuksesan sistem pendidikan yang selama ini dikembangkan di negeri ini. Catatan performa para siswa Jepang terutama dalam bidang matematika dan ilmu alam selama dua dekade terakhir senantiasa menjadi tolok ukur kesuksesan itu.
Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan.
Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.
Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.
Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.
Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program “Super Science” untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.
Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.
Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati.
Christianus I Wayan Eka, MA, asisten pengajar pada Faculty of Policy Studies and Faculty of Information Sciences and Engineering, Nanzan University, Japan
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang (II)
Perkembangan dalam sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat 90 persen dari orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah atas.
Disinilah fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian masuk sekalipun, maka “Yutori Kyoiku” mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka alami.
Kemudian kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan semangat “Yutori Kyoiku”. Muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Ini berpengaruh pada jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari menjadi 5 hari.
“Yutori Kyouiku” juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui program yang dikenal sebagai program terpadu (sogotekina gakushu). Tujuan utama program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir kritis.
Nilai hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar.
Poin yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini akan membawa para siswa untuk memiliki “kemampuan baru” dan hal ini oleh kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi pendidikan ke depan.
Prinsip ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing mereka untuk berpikir serta berkreasi.
Apakah reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses.
Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Para pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi “Yutori Kyoiku” ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar.
Namun sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut.
Lalu bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20 persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya.
Akhir kata, sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab tantangan ini, berbagai upaya guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata serta metode “hands-on learning” menjadi tren yang baru di negeri ini.
Di balik semua itu apa hikmah yang bisa kita ambil buat sistem pendidikan di negara kita? Memang sistem pendidikan di negara kita mungkin tidak sekaku apa yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem pendidikan nasional Indonesia.
Christianus I Wayan Eka, MA, asisten pengajar pada Faculty of Policy Studies and Faculty of Information Sciences and Engineering, Nanzan University, Japan
(Sumber : www.Kompas.com)
Kamis, 13 Agustus 2009
Senin, 10 Agustus 2009
Nasyid Inspirasi
Nasyid "Selamat Tinggal Sahabatku" dari Tim Nasyid Izzatul Islam.
Nasyid ini menjadi inspirasi bagi anak-anak yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan berikutnya (sempat disampaikan/dinyanyikan oleh sekitar 140 siswa SD / Wisudawan)
....dan menjadi inspirasi bagi teman-teman yang akan menempuh pendidikan di Luar Negeri.
Nasyid ini menjadi inspirasi bagi anak-anak yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan berikutnya (sempat disampaikan/dinyanyikan oleh sekitar 140 siswa SD / Wisudawan)
....dan menjadi inspirasi bagi teman-teman yang akan menempuh pendidikan di Luar Negeri.
Jumat, 07 Agustus 2009
Marhaban Ya .. Ramadhan
“Allahumma ballighna fii Rajaba wa Syaban wa ballighna Ramadan”?
Artinya : Ya Allah, sampaikan kami pada (bulan) Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami pada (bulan) Ramadhan.
Hal ini secara tersirat dimaksudkan agar kita mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan melakukan amalan ruhiyan sejak bulan Rajab tiba.
shalat berjamaah di masjid,
qiyamullail, tilawah Al Qur'an,
shadaqah dan macam-macam ibadah lainnya.
Terlebih lagi di sepuluh hari terakhirnya, tak ketinggalan kita coba untuk ber-itikaf di masjid,
Kamis, 06 Agustus 2009
Dari Mana Bakat Anda?
Dari Mana Bakat Anda?
Ditanya akan memilih jurusan apa saat kuliah nanti, Santi mengaku bingung menentukan pilihan, apalagi ketika pilihan tersebut dikaitkan dengan bakat dan minatnya. "Jangankan memilih sesuai minat dan bakat, saya sendiri pun belum tahu minat dan bakat saya," katanya.
Santi (18), sebutlah namanya begitu, mengaku dirinya memang bukan siswa pandai di kelas. Namun, ia juga bukan nomor buncit dalam urusan nilai pelajaran. Hanya, dia merasa tidak "ngeh" soal minat atau bakatnya pada hal-hal tertentu.
Memang, kerap orang mengatakan minat dan bakat adalah teropong bagi jalan kehidupan di masa depan. Membayangkannya pun terasa menyenangkan karena dengan keduanya kita bisa menjadi siapa pun yang diinginkan asalkan mau kerja keras dan pantang menyerah.
Kenyataannya, pemahaman itu justru sebaliknya. Hal itu sering kali menimbulkan masalah ketika kita beranjak dewasa dan tiba saatnya memilih bidang pendidikan dan karier. Pemahaman itu sedikit banyak menciptakan ilusi akan beragam pilihan bidang pendidikan dan karier yang menjanjikan masa depan. Dan lagi, apakah semua itu pilihan yang benar-benar kita inginkan?
Selain itu, pemahaman tersebut juga membentuk imajinasi tersendiri bahwa kita bisa menjadi sosok terbaik di bidang apa pun yang kita minati. Duh, apa betul begitu? Apakah bisa, prestasi seorang Chris John yang dielu-elukan berkat tinjunya di atas ring itu akan bersinar oleh puja-puji pula di lapangan basket?
Nyatanya tidak. Adalah sebuah fakta bahwa kita memang tidak bisa menjadi siapa pun yang kita mau. Kita lupa, selain minat, ada faktor lain yang sangat menentukan langkah kita ke depan. Ya, bakat dan latihan khusus untuk mempertajamnya.
Temukan, Bukan Ciptakan
Kenyataan, tidak semua orang bisa menjadi seorang Chris John, Bill Gates, atau David Beckham. Mereka bertiga punya bakat alami dan telah menjadikan bakat itu sebagai investasi yang dilatihnya sejak lama. Dan kita tidak bisa membuat dan mengubahnya "semau gue".
Sekarang, lihat ke sekeliling Anda! Mungkin, ada orang yang suka duduk berlama-lama di depan laptop? Bahkan saking lamanya Anda lupa, kapan orang itu makan dan minum?
Atau, Anda pun mungkin bingung, kenapa rekan dekat Anda lebih memilih les guru bahasa Inggris ketimbang Anda yang lebih senang naik gunung atau bermain band di saat libur? Banyak, dan banyak lagi contoh yang kita pun tidak tahu keuntungan mereka melakukan semua itu.
Anda pun sebetulnya bisa begitu. Meniru untuk kreatif berekspresi seperti mereka, berhasil lalu merasa puas. Namun kelak yang terjadi, Anda tidak akan pernah merasa nyaman melakukan hal-hal di luar kerangka bakat Anda tersebut.
Ya, Anda tidak akan bisa menjadi mahasiswa arkeologi dan menjadi arkeolog mumpuni karena Anda sebenarnya sama sekali tidak hobi "keluyuran". Usaha Anda hancur terus dan kapok untuk terjun ke bidang bisnis sehingga Anda memilih kembali menjadi karyawan. Tidak salah, Anda memang tidak punya hobi itu. Anda tidak bakat!
Mutlak, Anda harus paham apa yang disebut dengan bawaan atau nature (hormonal atau DNA) dan latihan atau nurture. Sejatinya, yang harus Anda lakukan ialah membentuk diri Anda tak ubahnya dengan bawaan Anda sejak lahir. Anda jangan hanya menginginkan suatu bidang pendidikan yang bisa membuahkan karir tertentu dengan gaji selangit.
Jika itu Anda lakukan, berarti Anda sudah "bunuh diri". Pasalnya, kerangka neurologis Anda yang telah membentuk bakat tersebut akan menolak. Alhasil, Anda tidak dapat menikmatinya. Kecuali, Anda memang berniat keras untuk menambal "kekurangan" tersebut dengan nurture, dengan latihan-latihan khusus.
Semakin cepat Anda sadar untuk melihat diri Anda dan menemukan potensi di dalamnya, semakin beruntung pula Anda. Pilihan minat dan bakat Anda dengan sendirinya akan lebih mudah Anda tentukan.
Anda mulai bisa memilih peran Anda, bentuk pendidikan yang cocok untuk menambal peran tersebut, serta produktifitas yang akan Anda hasilkan kelak di dunia kerja. Cara memulainya, simak beberapa hal di bawah ini:
Maksimalkan kekuatan Anda, tuntaskan pula kelemahan Anda!
Jika Anda termasuk orang yang sulit berdiplomasi, dapatkah Anda terjun bebas ke dalam bidang ini karena Anda menyukainya? Kalau Anda tergolong paling lambat mengambil keputusan, dapatkah Anda melatihnya sekeras hati? Jika Anda bukan seorang konseptor, siapkah Anda menjadi seorang "ahli lapangan" agar kekurangan Anda tersebut lenyap ditelan bumi!
Tidak cukup latihan keras, Anda butuh bakat alami!
Memang, antara pengetahuan, keterampilan, serta materi bisa Anda dapatkan melalui belajar dan latihan. Namun, hal sesungguhnya yang penting adalah bakat sebagai bawaan Anda sejak lahir. Anda akan mampu melakukan segala hal berkat keterampilan, sementara kuantitas dan kualitas Anda melakukannya adalah berkat dorongan bakat alami Anda.
Siapkan sistem pendukung hindari aktivitas tak terarah!
Sistem pendukung itu bisa saja hanya berupa pesan singkat di ponsel atau sekadar kertas-kertas yang Anda tempel di meja belajar, bahkan pintu kamar!
Sadar dan amati reaksi spontan Anda saat menyikapi hal atau kejadian
Nah, bagaimana Anda akan mengambil peran atas kejadian itu? Anda cenderung memegang kendali, membuat analisa hal itu secara seksama, atau hanya berusaha mencari sisi-sisi lain ternyata tidak penting dari kejadian tersebut?
Amati besarnya niat dan keinginan Anda melakukan aktivitas tertentu
Dari situ, yakinkan bahwa sebuah aktivitas telah membuat Anda rindu untuk berulang melakukannya. Rasa rindu itu akan senantiasa timbul hingga Anda lekas-lekas melakoninya.
Secepat apa Anda belajar dan menguasai sebuah bidang tertentu?
Secepat kilat atau selambat becak? Sadari hal itu dan bandingkan upaya Anda dengan hasil yang didapatkan oleh rekan-rekan Anda.
Sepuas apa perasaan Anda seusai melakukannya?
Entah, karena yang pasti, saat melakukannya Anda nyaman, senang, dan membuat Anda sejenak tenggelam di dalam keasyikan melakukannya.
Monitor perilaku dan perasaan Anda ketika menjalaninya
Dari sini Anda akan mengevaluasi apa yang sudah Anda lakukan. Amati dan berikan analisis pada diri Anda. Benarkah ini pilihan Anda?
Anda tidak bisa menikmati? Anda lambat dan merasa tidak berkembang?
Tinggalkan sekarang juga! Cari peran lain, jangan habiskan uang dan waktu Anda hanya untuk mengatasi kelemahan Anda, melainkan juga pertajam bakat dan kekuatan alami dalam diri Anda.
Ingat, banyak orang muda yang sukses. Yakinlah bahwa mereka memang pribadi-pribadi yang menemukan bakatnya sejak dini dan mau belatih sebagai investasi di masa depannya.
(Sumber : Kompas.com)
Ditanya akan memilih jurusan apa saat kuliah nanti, Santi mengaku bingung menentukan pilihan, apalagi ketika pilihan tersebut dikaitkan dengan bakat dan minatnya. "Jangankan memilih sesuai minat dan bakat, saya sendiri pun belum tahu minat dan bakat saya," katanya.
Santi (18), sebutlah namanya begitu, mengaku dirinya memang bukan siswa pandai di kelas. Namun, ia juga bukan nomor buncit dalam urusan nilai pelajaran. Hanya, dia merasa tidak "ngeh" soal minat atau bakatnya pada hal-hal tertentu.
Memang, kerap orang mengatakan minat dan bakat adalah teropong bagi jalan kehidupan di masa depan. Membayangkannya pun terasa menyenangkan karena dengan keduanya kita bisa menjadi siapa pun yang diinginkan asalkan mau kerja keras dan pantang menyerah.
Kenyataannya, pemahaman itu justru sebaliknya. Hal itu sering kali menimbulkan masalah ketika kita beranjak dewasa dan tiba saatnya memilih bidang pendidikan dan karier. Pemahaman itu sedikit banyak menciptakan ilusi akan beragam pilihan bidang pendidikan dan karier yang menjanjikan masa depan. Dan lagi, apakah semua itu pilihan yang benar-benar kita inginkan?
Selain itu, pemahaman tersebut juga membentuk imajinasi tersendiri bahwa kita bisa menjadi sosok terbaik di bidang apa pun yang kita minati. Duh, apa betul begitu? Apakah bisa, prestasi seorang Chris John yang dielu-elukan berkat tinjunya di atas ring itu akan bersinar oleh puja-puji pula di lapangan basket?
Nyatanya tidak. Adalah sebuah fakta bahwa kita memang tidak bisa menjadi siapa pun yang kita mau. Kita lupa, selain minat, ada faktor lain yang sangat menentukan langkah kita ke depan. Ya, bakat dan latihan khusus untuk mempertajamnya.
Temukan, Bukan Ciptakan
Kenyataan, tidak semua orang bisa menjadi seorang Chris John, Bill Gates, atau David Beckham. Mereka bertiga punya bakat alami dan telah menjadikan bakat itu sebagai investasi yang dilatihnya sejak lama. Dan kita tidak bisa membuat dan mengubahnya "semau gue".
Sekarang, lihat ke sekeliling Anda! Mungkin, ada orang yang suka duduk berlama-lama di depan laptop? Bahkan saking lamanya Anda lupa, kapan orang itu makan dan minum?
Atau, Anda pun mungkin bingung, kenapa rekan dekat Anda lebih memilih les guru bahasa Inggris ketimbang Anda yang lebih senang naik gunung atau bermain band di saat libur? Banyak, dan banyak lagi contoh yang kita pun tidak tahu keuntungan mereka melakukan semua itu.
Anda pun sebetulnya bisa begitu. Meniru untuk kreatif berekspresi seperti mereka, berhasil lalu merasa puas. Namun kelak yang terjadi, Anda tidak akan pernah merasa nyaman melakukan hal-hal di luar kerangka bakat Anda tersebut.
Ya, Anda tidak akan bisa menjadi mahasiswa arkeologi dan menjadi arkeolog mumpuni karena Anda sebenarnya sama sekali tidak hobi "keluyuran". Usaha Anda hancur terus dan kapok untuk terjun ke bidang bisnis sehingga Anda memilih kembali menjadi karyawan. Tidak salah, Anda memang tidak punya hobi itu. Anda tidak bakat!
Mutlak, Anda harus paham apa yang disebut dengan bawaan atau nature (hormonal atau DNA) dan latihan atau nurture. Sejatinya, yang harus Anda lakukan ialah membentuk diri Anda tak ubahnya dengan bawaan Anda sejak lahir. Anda jangan hanya menginginkan suatu bidang pendidikan yang bisa membuahkan karir tertentu dengan gaji selangit.
Jika itu Anda lakukan, berarti Anda sudah "bunuh diri". Pasalnya, kerangka neurologis Anda yang telah membentuk bakat tersebut akan menolak. Alhasil, Anda tidak dapat menikmatinya. Kecuali, Anda memang berniat keras untuk menambal "kekurangan" tersebut dengan nurture, dengan latihan-latihan khusus.
Semakin cepat Anda sadar untuk melihat diri Anda dan menemukan potensi di dalamnya, semakin beruntung pula Anda. Pilihan minat dan bakat Anda dengan sendirinya akan lebih mudah Anda tentukan.
Anda mulai bisa memilih peran Anda, bentuk pendidikan yang cocok untuk menambal peran tersebut, serta produktifitas yang akan Anda hasilkan kelak di dunia kerja. Cara memulainya, simak beberapa hal di bawah ini:
Maksimalkan kekuatan Anda, tuntaskan pula kelemahan Anda!
Jika Anda termasuk orang yang sulit berdiplomasi, dapatkah Anda terjun bebas ke dalam bidang ini karena Anda menyukainya? Kalau Anda tergolong paling lambat mengambil keputusan, dapatkah Anda melatihnya sekeras hati? Jika Anda bukan seorang konseptor, siapkah Anda menjadi seorang "ahli lapangan" agar kekurangan Anda tersebut lenyap ditelan bumi!
Tidak cukup latihan keras, Anda butuh bakat alami!
Memang, antara pengetahuan, keterampilan, serta materi bisa Anda dapatkan melalui belajar dan latihan. Namun, hal sesungguhnya yang penting adalah bakat sebagai bawaan Anda sejak lahir. Anda akan mampu melakukan segala hal berkat keterampilan, sementara kuantitas dan kualitas Anda melakukannya adalah berkat dorongan bakat alami Anda.
Siapkan sistem pendukung hindari aktivitas tak terarah!
Sistem pendukung itu bisa saja hanya berupa pesan singkat di ponsel atau sekadar kertas-kertas yang Anda tempel di meja belajar, bahkan pintu kamar!
Sadar dan amati reaksi spontan Anda saat menyikapi hal atau kejadian
Nah, bagaimana Anda akan mengambil peran atas kejadian itu? Anda cenderung memegang kendali, membuat analisa hal itu secara seksama, atau hanya berusaha mencari sisi-sisi lain ternyata tidak penting dari kejadian tersebut?
Amati besarnya niat dan keinginan Anda melakukan aktivitas tertentu
Dari situ, yakinkan bahwa sebuah aktivitas telah membuat Anda rindu untuk berulang melakukannya. Rasa rindu itu akan senantiasa timbul hingga Anda lekas-lekas melakoninya.
Secepat apa Anda belajar dan menguasai sebuah bidang tertentu?
Secepat kilat atau selambat becak? Sadari hal itu dan bandingkan upaya Anda dengan hasil yang didapatkan oleh rekan-rekan Anda.
Sepuas apa perasaan Anda seusai melakukannya?
Entah, karena yang pasti, saat melakukannya Anda nyaman, senang, dan membuat Anda sejenak tenggelam di dalam keasyikan melakukannya.
Monitor perilaku dan perasaan Anda ketika menjalaninya
Dari sini Anda akan mengevaluasi apa yang sudah Anda lakukan. Amati dan berikan analisis pada diri Anda. Benarkah ini pilihan Anda?
Anda tidak bisa menikmati? Anda lambat dan merasa tidak berkembang?
Tinggalkan sekarang juga! Cari peran lain, jangan habiskan uang dan waktu Anda hanya untuk mengatasi kelemahan Anda, melainkan juga pertajam bakat dan kekuatan alami dalam diri Anda.
Ingat, banyak orang muda yang sukses. Yakinlah bahwa mereka memang pribadi-pribadi yang menemukan bakatnya sejak dini dan mau belatih sebagai investasi di masa depannya.
(Sumber : Kompas.com)
Rabu, 05 Agustus 2009
Classroom Management
Classroom Management melibatkan :
Orang
Furniture
Material
Peranan Guru
1. Stage Manager
2. Mediator/ problem solver (Mengatasi Problem)
3. Player ( Permainan )
4. Scribe
5. Assessor and Communicator
6. Planner ( Merencanakan )
Stage Manager
• Menciptakan lingkungan yang kondusif
• Menyiapkan penataan yang nyaman
• Memastikan semua peralatan cukup
• Menyediakan waktu yang cukup untuk anak
PENATAAN RUANG
1. Penataan ruang kelas
2. Pengaturan tempat duduk
3. Pengaturan alat alat pengajaran
4. Penataan keindahan dan kebersihan kelas
5. Ventilasi dan tata cahaya
Apakah Tipe Manajemen Kelas Anda ?
• Mengontrol siswa dan memotivasi untuk mandiri
• Menjelaskan alasan dari peraturan dan keputusan
• Terbuka dan hangat
• Mengekspresikan ketertarikan
• Memberikan penghargaan dan motivasi
• Memberikan komentar yang positif
1. Tipe Berwibawa
2. Tipe Permisif
3. Tipe Acuh
Guru yang baik bukanlah guru yang berpengalaman bertahun-tahun, tetapi guru yang setiap saat mau mencoba hal-hal baru sekaligus mampu merefleksikan diri nya demi peningkatan kompetensi kualitas belajar dan mengajar yang menjadikan siswa trampil sebagai subyek.
Langganan:
Postingan (Atom)